Dewan Soroti Indikasi Penyimpangan Proyek Rehabilitasi Gedung PUSDAI Kab Bogor

67

Bogor, BERANTAS

Anggota DPRD Kabupaten Bogor, Achmad Fathoni yang membidang keuangan Daerah turut menyoroti adanya indikasi penyimpangan di proyek rehabilitasi Gedung PUSDAI yang letaknya tidak jauh dari tempat berkantornya Bupati Bogor. Proyek yang bernilai Rp. 12 miliar lebih ini, patut diduga tidak sesuai spek.

Karena itu dia menegaskan dewan akan bersikap tegas dan akan mengambil langkah langkah yang di perlukan.

“Langkah langkah itu tentu sesuai tupoksi kita karena saya rasa ini sudah ramai diperbicangkan , jangan sampai nanti proyek ini jadi preseden buruk kalau benar ada penyimpangan. Karena ada di pusat kota Kabupaten Bogor,” ujar Fathoni sapaan akrabnya itu kepada wartawan.

Dia mengatakan, bisa saja langkah awal dewan akan melalukan sidak lapangan untuk mengetahui kondisi sebenarnya.

Menurutnya, proyek Pusdai dikerjakan dalam kondisi keprihatinan. Sebab untuk tahun 2021 Pemerintah Kabupaten Bogor mengalami defisit anggaran. “Jadi hemat saya seharusnya seluruh pembangunan yang memakai APBD bisa berjalan maksimal dan sebaik mungkin. Nah kalau ini ada indikasi penyimpangan saya kira pelaksananya sudah ngawur dan tidak mengerti kondisi prihatin,” jelasnya.

Fathoni berjanji akan membuat terang benderang soal pengerjaan proyek rehabilitasi gedung Pusdai. Sebab apa yang menjadi pertanyaan masyarakat otomatis menjadi pertanyaan dewan selaku wakil masyarakat di parlemen.

Sebelumnya, Proyek rehabilitasi gedung Pusdai Cibinong senilai Rp 12.902.908.000, pada Satuan Kerja (Satker) Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor yang dikerjakan oleh PT. Ardico Artha Multimoda diduga tidak sesuai spek karena baja ringan yang digunakan tidak ber Standar Nasional Indonesia (SNI).

Terkait hal tersebut, Edi dari PT. Bina Mitra Wahana selaku pihak konsultan pengawas saat dikonfirmasi mengatakan bahwa baja ringan tersebut sudah sesuai spesifikasi meskipun dia mengakui tidak ada logo SNI nya. Bahkan menurut Edi sekalipun baja ringan yang terpasang itu bukan SNI, tidak menjadi masalah, dengan alasan atap yang dipakai sangat ringan.

”Sekalipun bukan SNI itu gak ada masalah, karena untuk atap jenis Onduline yang sangat ringan, itu gak akan bermasalah,” sebut Edi, saat dikonfirmasi wartawan di lokasi proyek, Senin (25/10/21).

Saat ditanyakan apakah di Rencana Anggaran Biaya (RAB) nya untuk baja ringan itu wajib SNI atau tidak, Edi malah memberikan jawaban seakan tak peduli.

“Kalo iya kenapa, kalo tidak kenapa,” ketusnya.

Anehnya lagi, Edi malah menantang wartawan untuk menyebutkan acuan aturan yang menyebutkan jika standar produk baja ringan untuk gedung milik pemerintah harus ber SNI.

“Coba sampaikan aturan yang mana, saya pengin tau aturan yang mana,” ucap Edi.

Ketika ditanyakan apa acuannya selaku konsultan pengawas dalam mengawasi pekerjaan di lapangan dengan santai Edi menjawab hanya berdasarkan pengamatan dan feeling saja.

”Oh ga ada acuannya, saya cukup melihat dan berdasarkan feeling saja, saya 36 tahun di proyek, ya saya sudah hapal,” tukasnya.

Selain diduga diduga tidak sesuai spek, berdasarkan keterangan pelaksana dan konsultan pengawas dilapangan, proyek rehabilitasi gedung Pusdai tersebut tidak bisa dilaksanakan sesuai gambar rencana yang ada, karena terdapat kesalahan fatal pada gambar oleh konsultan perencanaan.

”Kita tidak bisa lakukan pekerjaan sesuai acuan pada gambar rencana karena memang gambar pekerjaan yang ada terdapat banyak kesalahan dan ketidaksesuaian dengan kenyataan dilapangan, dan itupun sudah diakui oleh pihak konsultan perencanaan yang ditunjuk oleh Dinas DPKPP,” jelas Ahdiyat perwakilan PT. Ardico Artha Multimoda selaku pelaksana proyek.

“Maka dari itu, ketidaksesuaian tersebut selalu kami sampaikan ke dinas dan masih terus dibahas dan dirapatkan,” pungkasnya.

Untuk diketahui, sesuai dengan Surat Edaran Menteri PUPR Nomor 13/SE/M/2019 tentang penggunaan baja tulangan beton harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pantauan dilapangan juga para pekerja tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD), Pantauan dilapangan juga para pekerja tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD), padahal itu sangat utama dalam memelihara kesehatan dan keselamatan kerja (K3), berupa kacamata khusus (spectacles), helm pengaman (safety helmet), sepatu karet atau boot (safety shoes) dan rompi (vests).

Para pekerja proyek itu diduga tidak menaati UU No. 1/1970, pasal 35 UU No. 13/2003, PP No. 50/2012 dan Permen PU No. 05/2014. Bila terbukti melanggar tidak memakai APD dalam bekerja, yang bersangkutan bakal dikenakan pidana kurungan 1 sampai 15 tahun dan denda Rp100 ribu hingga Rp500 juta.

( Win’s )