PLTA Simbol Kemandirian

63

Oleh : Eko Sulistyo
Komisaris PT. PLN (Persero)

Sejarah perlistrikan di kota Solo memiliki cerita menarik untuk ditulis. Bukan saja karena Solo merupakan kota pertama setelah Batavia (Jakarta) yang dialiri listrik pada 1902, tapi sejarah perlistrikan di Solo telah menorehkan catatan penting keinginan seorang penguasa pribumi membangun pembangkit listrik sendiri. Meski harus berakhir dengan pelarangan oleh pihak kolonial, pembangkit itu sempat diresmikan dan beroperasi selama beberapa tahun.

Dari perspektif nasionalisme, upaya pendirian pembangkit listrik oleh bangsa pribumi di era kolonial adalah terobosan penting. Selain bentuk kemandirian dan untuk memperluas jaringan listrik, juga menambah pendapatan. Namun langkah itu menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial Belandaa karena berpotensi menggerus pemasukan dan mengganggu stabilitas politik lantaran mengupayakan pengadaan listrik murah bagi bangsanya.

Tokoh sentral yang memiliki ide mendahului zaman itu adalah KGPAA Mangkunegoro VII (1916-1944), penguasa praja Mangkunegaran yang sempat mengenyam kuliah di negeri penjajah. Sebagai seorang terpelajar dan relasinya dengan kaum Eropa, tidak sulit menyimak kemajuan teknologi listrik di wilayahnya. Apalagi pendahulunya, Mangkunegoro VI (1896-1911) yang bersama Sunan Pakubuwana X (1893-1939) dari Kasunanan, dikenal sebagai penggagas berdirinya perusahaan listrik swasta di Solo, “Solosche Electriciteits Maatschappij” (SEM) pada 12 Maret 1901.

Perusahaan Listrik SEM

Sebagai perusahaan publik yang bergerak di bidang kelistrikan di tanah kerajaan (Vorstenlanden), SEM sangat terbantu dukungan pihak keraton Kasunanan dan Magkunegaran. Tidak hanya sebagai pemegang saham, mereka juga menjadi komisaris, diwakili Patih Sasradiningrat dari Kasunanan dan J.A.C. De Kock van Leeuwen sebagai pengawas tanah Mangkunegaran. Duduk pula sebagai komisaris, Kapten Tionghoa Be Kwat Koen dan pegusaha S.J.W. Van Buuren, serta Firma Maintz & Co di Batavia sebagai direktur, mewakili Algemenine Electriciteits Gesellschafte di Berlin.

Dalam “Jaarverslagen SEM 1911-1931”, disebutkan dengan modal awal f 225.000 dan kantor pemberian Pakubuwana X di Purwosari, SEM berkembang tidak hanya sebagai perusahaan pemasok listrik, tapi juga pemborong dan pemasangan instalasi listrik wilayah Solo. Apalagi konsumen di Solo dan sekitarnya sangat beragam, mulai dari raja, kalangan elite pribumi, bangsa asing, dan pengusaha. SEM tidak hanya memasang listrik dan lampu-lampu megah yang sampai hari ini artefaknya seperti genset, instalasi listrik dan gardu distribusi, masih bisa kita saksikan di istana Kasunanan dan Mangkunegaran.

SEM juga mengerjakan listrik di kantor-kantor pemeritahan, penerangan jalan dan jaringan listrik hingga pedesaan. Semula tenaga uap menjadi sumber tenaga listriknya, namun menjelang 1920 SEM meningkatkan suplai listriknya dengan mendatangkan genset dari luar negeri yang terus ditambah daya kekuatannya. Untuk meningkatkan jumlah pelanggan, SEM aktif promosi dan mengadakan pertujukkan menyuguhkan atraksi bola-bola lampu yang menyilaukan dan membuat takjub pengunjung yang menyaksikan.

Dalam konteks ini, kehadiran SEM telah membawa modernitas dan gambaran Solo benderang di malam hari dengan segala aktifitas budaya dan kuliner masyarakatnya. Seperti digambarkan dalam Serat Sri Mahargya oleh Purbadipura (1930), “kacarita surup surya, sunaring lampu elikstrit, padhang samargi-margi, kadulu lir dudu dalu, wus mèh kadya raina, dhangan kang sami lumaris.” Artiya, memasuki waktu matahari tenggelam, cahaya lampu listrik terang benderang di sepanjang jalan, seolah bukan malam hari, sudah menyerupai siang hari, semua orang yang melewatinya menjadi senang.

PLTA Kali Samin

Berdasar “Statistiek van de Openbare Electriciteitsbedrijven in Nederland Indie over 1911-1931”, sejak awal usahanya sampai 1931, SEM menghasilkan listrik sebesar 6.091.000 kWh pertahun. Kekuatan ini dinilai belum mampu mencukupi kebutuhan listrik di Solo dan sekitarnya. Selaku “zuster maatschappij” dari SEM, “NV. Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteit” atau ANIEM berusaha menambah pasokan listrik dengan membangun jaringan transmisi dan distribusi dari pusat tenaga listrik di “Waterkracht” Tuntang, Salatiga.

Namun bagi Mangkunegoro VII, kekurangan pasokan listrik itu justru medorongnya untuk mendirikan pembangkit sendiri. Harapannya, biaya tarif listrik yang dikeluarkan terjangkau seluruh “kawula dalem” (rakyat) di wilayahnya. Keinginan ini logis, mengingat saat itu eksploitasi di tahun-tahun pertama yang dilakukan SEM mengalami kerugian yang berimbas melonjaknya tarif listrik bagi masyarakat.

Faktor lainnya, pembangkit listrik di Tuntang untuk menyuplai listrik di Vorstenlanden dinilai relatif jauh. Hal ini menguatkan pihak Mangkunegaran berinisiatif mengoptimalkan potensi alam di wilayahnya untuk pembangkit listrik. Gagasan ini bukan mustahil lantaran pembangkit di Tuntang memakai sungai untuk pembangkitnya, maka Tawangmangu yang memiliki sungai, dinilai cocok sebagai tempat pembangkit listrik.

SEM sendiri mengakui pembangkit listrik di Tuntang kewalahan menyuplai energi listrik di Vorstenlanden yang cukup luas. Berdasarkan Arsip SEM No. 11403/29 tanggal 27 Desember 1930, SEM telah menolak permohonan penambahan listrik di Mangkunegaran. Padahal Mangkunegaran sedang bersolek menata kawasanya lebih terang di malam hari ditambah kegiatan pabriknya yang membutuhkan listrik tidak kecil.

Untuk menindaklanjuti ide Mangkunegoro VII, dilakukanlah “tour” ke Tawangmangu oleh pihak Mangkunegaran dan SEM pada 1932. SEM memiliki izin menyediakan listrik di Solo dan sekitarnya, tapi tidak mengantongi izin membangun pembangkit listrik dari air. Sementara, untuk tiap harinya SEM membutuhkan 25.000 kWh listrik atau 1000 kWh setiap jam untuk memenuhi pelanggan.

Dari hasil riset awal itu diketahui bahwa Kali Samin di Tawangmangu sangat ideal untuk pembangkit listrik, alternatif lainnya, tempat di dekat air terjun Beji. Selajutnya, berdasarkan Arsip Surat No. 324/3 tanggal 15 Maret 1932, dikeluarkan keputusan Kepala Irigasi Mangkunegaran bahwa pembangkit listrik bakal ditempatkan di Tawangmangu. Kerjasama pendirian pembagkit listrik tenaga air (PLTA) dengan biaya sebesar f 1.100.000 kemudian ditandatangani oleh Ir. Sarsito dari pihak Mangkunegaran, dan SEM diwakili Ir. Van Venlthoven.

Pengerjaannya oleh SEM melibatkan tenaga profesional dan para kuli. Berdasarkan “Rapport Betreffende de Mogelijkheid tet het Opwekken van Electriciteit Middels Waterkrachtweken in het Tawangmangoesche”, 7 November 1932, tidak diketahui secara pasti berapa lama waktu pengerjaannya. Namun poyek besar itu berhasil diselesaikan dan diresmikan oleh isteri Mangkunegoro VII yang dalam foto koleksi perpustakaan Mangkuegaran, terlihat didampigi para pejabat praja Mangkunegaran dan orang Belanda saat menekan tombol turbin sebagai simbolisasi dioperasikannya PLTA Kali Samin di Tawangmangu.

(ADVETORIAL/red.1)