Terkait Pungli Sertifikat, Dua Kades Diperiksa Kejari Sumenep  

114


berantasonline.com (Sumenep-Jatim)

Sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Penegak Pilar Bangsa beserta sejumlah kepala desa dari Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, mendatangi kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat, Selasa (23/1).

Sementara kedatangan aktivis LSM dan sejumlah kepala desa tersebut, dalam rangka menyamakan persepsi terkait pungutan/biaya pengurusan Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA), yang dinilai pungutan liar (pungli), dan melanggar hukum.

Sebab, Program nasional Badan Pertanahan Nasional tersebut saat ini, menjadi atensi khusus sejumlah aktivis, untuk membenturkan kepala desa di Sumenep dengan hukum.

Untuk itulah, mereka berbondong-bondong mendatangi kantor Kejari Sumenep pasca dipanggilnya dua Kepala Desa di Sumenep, terkait dugaan pungli Prona.

Sehingga mereka meminta agar urusan prona di Kabupaten Sumenep diberi pengecualian oleh penegak hukum. Karena kondisi di bawah sangat tidak sesuai dengan aturan yang dilahirkan dalam surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri.

Koordinator Penegak Pilar Bangsa Edy Junaidi mengatakan, berdasarkan surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi di Jakarta pada (22 Mei 2017) menetapkan jenis kegiatan, jenis biaya dan besaran biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan persiapan pendaftaran tanah.

“Dari SKB itu jelas, biayanya hanya Rp 150.000,- dengan rincian empat patok dan dua materai. Kalau di Kota yang tanahnya berdasarkan kavling, biaya sebesar itu kayaknya cukup,” terangnya.

Namun menurutnya, untuk biaya prona di tingkat desa, jumlah sebesar itu sangat tidak relevan. Sebab biaya yang dikeluarkan akan melebihi SKB tiga menteri itu. “Untuk jumlah patoknya saja bisa mencapai lima sampai delapan, kemudian materainya, bisa membutuhkan tujuh hingga delapan lembar. Ini saja sudah tidak sesuai dengan SKB tiga menteri. Lalu dari mana diambilkan kekurangan biayanya jika tidak dibebankan pada pemilik lahan. Cuma repotnya pungutan tambahan biaya itu malah disebut pungli,” imbuh Edi Junaidi atau Edi Kuncir.
Pernyataan senada disampaikan Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kecamatan Bluto, Ahmad Warid, yang mengaku keberatan dengan turunnya program Prona dari pemerintah pusat.
Sebab dengan turunnya program tersebut, akan banyak menyeret kepala desa ke ranah hukum.
“Sebenernya desa tidak terlalu berharap adanya program demikian, jika ujung-ujungnya akan berurusan dengan hukum.Kami selaku kepala desa lebih setuju  jika warga yang membutuhkan legalitas tanahnya, biar ngurus sendiri, dengan biaya pula. Bagi kami, itu tidak resiko ke kami (Kepala Desa,red),” paparya.

Maka dari itu, para kepala desa berharap ada perhatian khusus dari Kejari Sumenep, terkait masalah biaya prona yang terlanjur dijalankan.
“Kita butuh perhatian dari Kejari, agar ini tidak dikategorikan sebagai pungli,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sumenep, Bambang Panca Wahyudi Hariadi enggan berkomentar banyak, terkait permintaan sejumlah aktivis dan para Kepala Desa tentang biaya prona yang diluar ketentuan SKB tiga menteri itu.
“Sebagai penegak hukum, kami harus menjalankan ketentuan sesuai aturan,” ucapnya singkat. (Bakri)