(DITINJAU DALAM PERSPEKTIF KEJAHATAN KORPORASI)
oleh :
ANDRY SANTOSA, S.Pd,. SH,. MH
- Pendahuluan
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.[1]
Dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” menjadi dasar landasan bagi pembangunan di bidang ketenagakerjaan. Pasal yang sama dengan ketentuan ini ialah Pasal 28D ayat (2), yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.[2]
Salah satu tujuan berdirinya negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum bagi rakyat dan masyarakat, yang dimuat dalam UUD 1945. Sebagai konsekuensi penegasan cita-cita hukum (rechts ide) bahwa Indonesia menganut negara kesejahteraan (welfare state). Negara turut bertangungjawab campur tangan upaya mewujudkan kesejahteraan dalam masyarkat bagi rakyat dalam negara.[3]
Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan), bahwa asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh.
Kebijakan pemerintah dalam kebijakan hukum di bidang ketenagakerjaan di lihat dari ketentuan tersebut di atas, menjelaskan bagaimana peraturan ketenagakerjaan secara substansi mengatur sistem kerja yang fleksibel, yaitu penyempurnaan peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan agar tercipta pasar kerja yang fleksibel.[4] Dimana berkaitan dengan rekrutmen tanpa membatasi jenis pekerjaan bagi pekerja/buruh, pengupahan dapat ditentukan secara bipartit. Berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), terhadap uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak harus disediakan oleh pemberi kerja serta perlindungan tenaga kerja disepakati dalam Perjanjian Kerja(PK) ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dibuat antara pemberi kerja dengan pekerja ataupun Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Undang-Undang Ketenagakerjaan bertujuan meningkatkan pembangunan di bidang ketenagakerjaan antara lain dengan cara memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan, meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja dimaksudkan untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Selanjutnya tenaga kerja Indonesia diharapkan akan dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya. Jadi tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menjadikan tenaga kerja Indonesia sebagai subjek pembangunan nasional, bukan malah sebaliknya menjadi objek pembangunan.[5]
Untuk menilai kesejahteraan pekerja/buruh dapat di lihat dari upah (pengupahan) yang diterimanya selama masa kerja, karena upah memegang peranan yang penting dan merupakan salah satu ciri terjadinya suatu hubungan yang disebut dengan hubungan kerja.
Bahkan dapat dikatakan bahwa upah merupakan tujuan utama dari seseorang pekerja/buruh dalam melakukan pekerjaan pada orang lain atau badan hukum lain. Karena itulah pemerintah turut serta dalam menangani masalah pengupahan ini melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.[6]
Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan untuk melindungi pekerja/buruh meliputi:[7]
- Upah minimum;
- Upah kerja lembur;
- Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
- Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
- Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
- Bentuk dan cara pembayaran upah;
- Denda dan potongan upah;
- Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
- Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
- Upah untuk pembayaran pesangon; dan
- Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Selain itu, pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan tetap memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum dapat terdiri atas:[8]
- Upah minimum berdasarkan wilayah Propinsi atau kabupaten/kota;
- Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah Propinsi atau kabupaten/kota.
Upah minimum tersebut di atas diarahkan pada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi tenaga kerja/buruh, pemberi kerja (Pengusaha) dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Jika pengaturan pengupahan ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh maka kesepakatan tersebut tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang telah ditetapkan peraturan perundang-undanganyang berlaku. Jika dalam hal kesepakatan tersebut dibuat lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undanganyang berlaku.
Berbagai kasus hukum khususnya yang berhubungan dengan bidang ketenagakerjaan menyangkut pengupahan banyak terjadi belakangan ini, menimbulkan masalah pada suatu tindak pidana kejahatan yang dilakukan perusahaan terhadap pekerja/buruh.[9]
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil, dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh, oleh karenanya pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secaraterpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung. Jadi, asas hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.[10]
Tujuan hukum ketenagakerjaan ialah untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalambidang ketenagakerjaan dan melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha.[11]
Sedangkan untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha sebagai dari latar belakang adanya pengalaman selama ini yang sering terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan suatu perlindungan hukum yang komprehensif dan konkret dari pemerintah.
Ketentuan upah minimum diatur dalam Pasal 88 sampai dengan Pasal 92 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam ketentuan Pasal 89 ayat (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a terdiri atas:
- Upah minimum berdasarkan wilayah Propinsi atau kabupaten/kota;
- Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah Propinsi atau kabupaten/kota.
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL).Upah minimum sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Propinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layaksebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.Dalam Pasal 90 ayat (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, dapat mengajukan permohonan penangguhan kepada Gubernur.Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pengertian korporasi apabila diuraikan secara etimologis asal kata dari corporatie (Belanda), corporation (Inggris), corporation (Jerman), yang berasal kata “corporatio” dalam bahasa Latin.[12] Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan kata “tio”, maka corporatio sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja corporare,yang banyak dipakai orang pada jaman Abad Pertengahan atau sesudah itu.[13]Corporare sendiri berasal dari dari kata “corpus”(Indonesia: badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan kata lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.
Pengertian korporasi di dalam hukum pidana sebagai ius constituendum dapat dijumpai dalam Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Baru Buku I 2004-2005 Pasal 182 yang menyatakan, “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.[14]
Dwidja Priyatno,[15] memberikan tanggapan atas pengertian korporasi dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP 2004-2005 tersebut mirip dengan pengertian korporasi di negeri Belanda, sebagaimana terdapat dalam bukunya Van Bemmelen yang berjudul Ons Strafrecht 1 Het Materiele Strafrecht Algemeen deel, antara lain menyatakan, “… Dalam naskah dari Bab ini selalu dipakai dalil umum ‘Kor-porasi’, dalam mana termasuk semua badan hukum khusus dan umum (maksudnya badan hukum privat dan badan hukum publik, perkumpulan, yayasan, pendeknya semua perseroan yang tidak bersifat alamiah.
Kemudian atas rumusan tersebut di atas, dikatakan dapat dijumpai dalam Pasal 51 Wetboek van Strafrecht (W.v.S.) Belanda, yang menyebutkan:[16]
- Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
- Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam Undang-Undang terhadap:
- Badan hukum; dan
- Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pimpinan melakukan tindakan yang dilarang itu; atau
- Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b bersama-sama.
- Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
Korporasi dalam hukum pidana, lebih luas pengertiannya bila dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non badan hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi mempunyai kedudukan sebagai badan hukum.
Kejahatan korporasi diartikan dengan crimes for corporation, ada pula yang mengartikan dengan crime against corporation, atau hanya dengan criminal corporation atau corporate crimes.[17]
Kejahatan terhadap korporasi (crimes against corporation), yang sering dinamakan employee crimes, merupakan kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi. Misalnya penggelapan dana perusahaan oleh pejabat atau karyawan tersebut. Sedangkan criminal corporation adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan.Kedudukan korporasi dalam criminal corporation (corporate crime)[18] hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan.
Karakteristik kejahatan korporasi melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain:[19]
- Kejahatan tersebut sulit di lihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem organisasi yang kompleks.
- Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sebuah yang ilmiah, tehnologis, finansial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun.
- Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) yang semankin luas akibat kompleksitas organisasi.
- Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization) seperti polusi dan penipuan.
- Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
- Peraturan yang tidak jelas (ambigiutas law) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum, dan
- Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku kejahatan korporasi pada umumnya tidak melanggar peraturanperundang-undangan, tetapi apa yang dilakukan memang merupakan perbuatan yang illegal.
Masalah pertanggungjawaban pidana, maka tidak lepas dapat dilepaskan dari tindak pidana.Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana.Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.[20]Tindak pidana tidak berdiri sendiri dan baru bermakna apabila terdapat pertanggungjawaban pidana.Berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus di pidana.Untuk dapat di pidana harus adanya pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhipidana karena perbuatannya itu.[21]
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas,sedangkan dasar dapat di pidananya pembuat (dader) adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan di pidana jika mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Seseorang dapat dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut, apabila mempunyai pertanggungjawaban dalam melakukan tindak pidana, yang di lihat dari segi kemasyarakatan seseorang itu dapat di cela oleh karena perbuatan tersebut.
Ada 3 (tiga) model pertanggungjawaban pidana korporasi tentang kedudukan koporasi sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawabannya pidana korporasi, yaitu:[22]
- Pengurus korporasisebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab.
Dalam model ini bahwa subjek tindak pidana yang dikenal hanya manusia.Apabila dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi.Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana.Dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan penguruslah yang melakukan delik itu.Dan karenanya pengurus yangdiancam pidana dan di pidana.
- Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.
Dalam model ini bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab, yang dipandang dilakukan korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasanrya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu ataukah tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.
- Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Dalam delik-delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yag ditimbulkan dalam masyarakat, atau denda yang di derita oleh saingan-saingannya, keuntungan atau kerugian-kerugian itu adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana.
Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang di larang oleh Undang-Undang itu (jera). Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan tekanan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi, karenanya diperlukan pula utuk dimungkinkan memidana korporasi,dan pengurus atau pengurus saja.
Dengan demikian kemampuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat diterapkan pada delik-delik tertentu saja, seperti pada delik-delik ekonomi yang ada ancaman pidana alternatif.Apabila korporasi dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruh rumusan delik di dalam KUHP harus ada pidana alternatifnya.[23]Adanya pembatasan pertanggungjawaban pidana untuk korporasi, yaitu terhadap delik- delik yang bersifat personal yang menurut kodratnya dapat dilakukan oleh manusia saja.
Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung dari korporasi.Dalam sistem ini di buka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana sehingga telah terjadi pergeseran pandangan bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, di samping manusia alamiah (natuurlijk person).
- PELANGGARAN PIDANA DALAM PEMBAYARAN UPAH DI BAWAH KETENTUAN UPAH MINIMUM OLEH PENGUSAHA (KORPORASI)
Dalam ketentuan dan bentuk sanksi Pidana bidang ketenagakerjaan, sebagaimana diuraikan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan suatu pelanggaran pidana dengan ancaman pidana penjara dan/atau denda.
Pelanggaran membayar upah dibawah upah minimum menurut Pasal 185 diancam dengan penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 dan paling banyak Rp.400.000.000.
Pada contoh kasus tindak pidana pembayaran upah di bawah ketentuan upah minimum yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, yakni Perkara Pidana Nomor: 401/Pid.B/2012/ PN.Bwi. dimana Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi menjtuhkn memvonis bersalah atas terdakwa AGUS WAHYUDIN selaku Direktur Keuangan PT. MAYA MUNCAR BANYUWANGI.
Selain itu dalam Perkara Pidana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 687 K/Pid.Sus/2012 Jo. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor: 1397/Pid.B/2010/PN.Sby. Dalam Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor 687 K/Pid.Sus/2012 tanggal 05 Desember 2012, terdakwa bernama TJIOE CHRISTINA CHANDRA telah di dakwa : Yang pertama melanggar ketentuan yang diatur dan diancam pidana Pasal 90 Ayat (1) jo. Pasal 185 Ayat (1)Undang Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan; Atau yang kedua : melanggar ketentuan yang diatur dan diancam pidana Pasal 4 Ayat (1) jo. Pasal 29 Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan;.
Pada peradilan tingkat pertama in casu Pengadilan Negeri Surabaya telah menjatuhkan Putusan terhadap Terdakwa yang terdaftar dalam Register Nomor 1397/Pid.B/2010/PN.Sby tertanggal 31 Januari 2011, dengan amar putusan bahwa Terdakwa TJIOE CHRISTINA CHANDRA, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum pada dakwaan Kesatu dan Kedua; kemudian membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari seluruh dakwaan Jaksa/Penuntut Umum (vrijspraak);
Atas amar putusan di atas, pada tanggal 10 Pebruari 2011 Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surabaya mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Negeri tersebut berdasarkan Akta tentang Permohonan Kasasi Nomor 1397/Pid.B/2010/PN.Surabaya yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Surabaya.
Terhadap permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surabaya tersebut. Dengan pada pokoknya bahwa dalam perkara a quo telah dapat dibuktikan bahwa sehari-hari yang berkuasa dalam menentukan UMR bagi para pekerja UD Terang Suara itu ikut juga Terdakwa sehingga terbayar kepada para pekerja hanya Rp.800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) per bulan.
III. ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEJAHATAN KORPORASI DALAM BIDANG PERLINDUNGAN NORMA PENGUPAHAN
Penegakan hukum merupakan bagian penting dalam sistem hukum (legal system), di mana hal ini perlu dilakukan dengan berbagai upaya pembinaan secara sistematis dan berkelanjutan.
Berdasarkan teori hukum dinyatakan bahwa berlakunya Undang-Undang (hukum) sebagai kaidah apabila hukum berlaku secara yuridis, di mana hukum itu didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi derajatnya, hukum berlaku secara sosiologis, di mana hukum dapat berlaku efektif kaidahnya diterima oleh masyarakat dan hukum berlaku secara filosofis, di mana hukum itu sesuai dengan cita-cita kebenaran sebagai nilai positif yang tertinggi dalam masyarakat.
Jika melihat kedua kasus diatas, jelas penegakan hukum ketenagakerjaan di bidang pengupahan telah terlaksana. Integritas aparat penegak hukum, sarana dan prasarana penegakan hukum, serta kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum itu sendiri telah terlaksana pula dengan adanya sanksi pidana dan denda yang diberlakukan bagi pelanggar ketentuan yang membayar upah di bawah ketentuan Upah Minimum.
Pengawasan ketenagakerjaan merupakan kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di bidang perlindungan norma pengupahan. Tugas pengawasan itu dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pangawas ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi RI atau pejabat yang ditunjuk dengan pelaksanaan pengawasan diatur dengan Keputusan Presiden, dalam pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah Propinsi dan pemerintah kabupaten/kota.[24]
Sejauhmana pertanggungjawaban korporasi hanya akan dapat terlihat jika diketahui dahulu sebatas mana perbuatan yang di larang dan siapa (pelaku) yang dapat dipertanggungjawabkan dalam korporasi tersebut. Karena dalam prinsip perbuatan tindak pidana atau strafbaarfeit, hanya dapat diterapkan pada suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan yang dapat di pidana dan unsur pertanggungjawaban pidana.
Namun hal ini tidak menjadi masalah jika dilihat dalam konsep pelaku fungsional (functional daderschaap).[25] , dimana perbuatan fisik dari seseorang yang sebenarnya melakukan telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya, maka kemampuan bertangungjawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut, selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian, kemampuan bertanggung jawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Berbicara tanggung jawab korporasi dalam perlindungan norma pengupahan tenaga kerja dalam kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, tidak lepas dari tindak pidana. Dalam hukum pidana terdapat asas nullum dilectum nulla poena sine previa lege poenali, ialah suatu perbuatan (pidana) hanya dapat di hukum bila sebelum perbuatan tersebut dilakukan telah ada Undang-Undang/peraturan hukum lainnya yang melarang dilakukannya perbuatan tersebut/sejenisnya dan mengancamnya pula dengan pidana atau hukuman terhadap pelakunya. Hal ini berkenaan dengan berlakunya asas legalitas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.[26] Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, yaitu: “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali berdasarkan aturan pidana dalam perundang-undangan yang sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada”.
Namum bagaimana bila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi yang secara alamiah tidak dapat memenuhi unsur subjektif tersebut?. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya salah satu dari unsur-unsur delik maka mengakibatkan tidak dapat di hukum.
Sehubungan dengan adagium “actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau “tiada pidana tanpa kesalahan”, maka konsekuensinya adalah bahwa hanya “sesuatu” yang memiliki kalbu saja yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.[27]
Oleh karena hanya manusia yang memilki kalbu sedangkan korporasi tidak memiliki kalbu, maka korporasi tidak mungkin dibebani pertangungjawaban pidana. Namun demikian, dalam perkembangan hukum pidana, termasuk hukum pidana Indonesia, ternyata akhir-akhir ini di terima pendirian bahwa korporasi, sekalipun pada dirinya tidak memiliki kalbu, dapat pula dibebani dengan pertanggungjawaban pidana.
Berbagai Undang-Undang tindak pidana khusus di Indonesia, bahkan sejak tahun 1951 telah menjadikan korporasi sebagai subjek tindak pidana selain manusia dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-barang, yang setelah itu diikuti oleh berbagai Undang-Undang tindak pidana khusus yang lahir kemudian. Termasuk Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Jelas kata “barang siapa” dari ketentuan tata bahasa atau etimologi bahasa Indonesia, dimaksudkan dengan “siapa saja”.[28]Siapa saja dapat diartikan sebagai orang perseorangan dan korporasi.[29]Jadi, penegakan hukum terhadap pelanggaran perlindungan norma pengupahan dapat diterapkan tidak saja kepada persoon dari korporasi itu, tetapi juga terhadap korporasi tersebut.
Pada ketentuan Pasal 90 Undang-Undang ketenagakerjaan menjelaskan bahwa kewajiban bagi pengusaha (korporasi) untuk tidak membayar upah kepada pekerja/buruh yang dipekerjakannya di bawah upah minimun sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku di wilayah kegiatan usahanya. Kemudian, pada ketentuan Pasal 185 bentuk tindak pidana yang dilanggar dengan ancaman penjara dan/atau denda.
Fungsionalisasi hukum pidana terhadaptanggung jawab korporasi dalam perlindungan norma pengupahan tenaga kerja dalam kejahatan yang dilakukan oleh korporasi mempunyai pengaruh terhadap penegakan hukum di bidang perlindungan norma pengupahan.
Untuk memfungsionalisasikan hukum pidana dalam rangka tersebut perlu perubahan (revisi) dari Undang-Undang yang bersangkutan, yang dirasakan belum cukup memenuhi secara integral dari maksud dan tujuan fungsi hukum pidana tersebut. Fungsi hukum pidana adalah subsidier, artinya hukum pidana hendaknya baru dilaksanakan apabila usaha-usaha lain tidak berhasil, ini merupakan alat social control.[30]
Perubahan terhadap penerapan sanksi dalam pertanggungjawaban korporasi dalam perlindungan norma pengupahan atas kejahatan yang dilakukan oleh korporasi merupakan sarana pembaharuan hukum di bidang ketenagakerjaan. Norma pengupahan merupakan bagian dari hukum ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan terhadap hak normatif dari pekerja/buruh tersebut.
Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret. Jadi, istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakikatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.
Bertolak dari pengertian yang demikian, fungsionalisasi hukum pidana seperti fungsionalisasi atau proses penegakan hukum melibatkan tiga faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat atau penegak hukum dan faktor kesadaran hukum.[31] Ketiga faktor inimerupakan perangkat tujuan pemidanaan yang dituju dalam hal menciptakan rasa takut terhadap sanksi pidana demi perlindungan masyarakat, khususnya pekerja/buruh.
Mengingat bahwa sebagian besar dari bentuk kejahatan korporasi berada dalam ruang lingkup administrative penal law, sekalipun kadang-kadang pidananya cukup berat, maka ada kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan asas subsidiaritas, yakni hukum pidana ditempatkan pada posisinya sebagai ultimum remedium dan sanksi administratif dan perdata banyak diterapkan.[32]
Menurut ketentuan pidana dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan inkonsisten tehadap badan hukum (korporasi) yang diakui sebagai subjek hukum dalam ketentuan umumnya. Sekiranya korporasi dapat dikenakan sanksi meskipun dalam lingkup administrative penal law karena secara alamiah korporasi tidak dapat memiliki kalbu seperti layaknya manusia. Sejalan dengan konsep hukum sebagai sarana pembangunan (bidang ketenagakerjaan), dimana pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana dapat diperluas dengan mempertanggungjawabkan korporasi itu sendiri atas tindak pidana di bidang ketenagakerjaan atas hak normatif pekerja/buruh pada norma pengupahan.
- KESIMPULAN
Dari urtaian diatas, dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum di bidang perlindungan norma pengupahan telah berjalan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangantentang hal tersebut. Sebagai hak normatif dari pekerja/buruh bahwa upah merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh pengusaha.
Pertangungjawaban korporasi dalam bidang perlindungan norma pengupahan dari kasus-kasus tindak pidana yang melanggar ketentuan membayar upah di bawah Upah Minimum Propinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) ternyata hanya diberlakukan terhadap organ dari pengurus korporasi (perusahaan) saja, seperti pimpinan perusahaan (Direktur) yang menjalankan usaha pada korporasi itu sehari-hari. Hal ini menunjukan bahwa pertanggunggjawaban pidana korporasi dalam bidang perlindungan upah belum dapat diterapkan sehingga perlu merubah sikap dari peradilan bahwa korporasi dapat juga dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh persoon korporasi itu sendiri. Mengingat ketentuan pidana dalam ketenagakerjaan ada dalam bentuk sanksi pidana penjara dan/atau denda.
Sekiranya perlu fungsionalisasi hukum pidana terhadap tanggung jawab korporasi dalam perlindungan norma pengupahan tenaga kerja dalam kejahatan yang dilakukan oleh korporasi sebab dari model-model pertanggungjawaban pidana korporasi bahwa korporasi pun dapat berbuat dan dapat dipertanggungjawabkan pidana atas perbuatan yang melanggar ketentuan tindak pidana di bidang perlindungan norma pengupahan. Untuk itu, peran hukum pidana dalam perkembangannya dapat sekiranya mempidanakan korporasi yang telah melakukan perbuatan melawan hukum hanya saja yang bersifat administrative penal law.Hal ini sejalan dengan konsep hukum pembangunan itu sendiri bahwa hukum dapat merubah kaidah/norma hukum yang ada dimasyarakat.
Disarankan perlunya revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan pada ketentuan pidana yang dapat mempertanggungjawabkan korporasi dengan memfungsionalisasikan hukum pidana dalam kejahatan terhadap perlindungan norma pengupahan yang dilakukan oleh korporasi yaitu dengan memberikan denda yang tinggi dari pada ketentuan pidana bidang ketenagakerjaan yang berlaku saat ini.
Sekiranya Majelis Hakim baik tingkat pengadilan negeri maupun tingkat kasasi dapat memberikan preseden dalam putusan yang memberi hukuman baik terhadap pengusaha orang perseorangan dengan pidana penjara dan maupun korporasi dengan pidana denda sehingga akan memberikan suatu efek jera untuk melanggar ketentuan atas perlindungan norma pengupahan.
DAFTAR PUSTAKA
- Buku :
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan Di Indonesia, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999.
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap hukum. Penerbit Kencana Prenada Media Gorup, Jakarta Tahun 2012
Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum, Penerbit, PT. Sofmedia, Medan, 2011.
Akhmad Hunaeni Z., Aspek-Aspek Hukum Pemutusan Hubungan Kerja Didahului Pelanggaran Hukum Pidana Pekerja/Buruh Dalam Cita Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Dalam buku: Wajah Hukum Pidana – Asas dan Perkembangannya, ed. Henny Nuraeny), Penerbit Gramata Publising, Jakarta, 2012.
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1999.
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Penerbit CV. Utomo, Bandung, 2004.
Frans Magnis-Suseno, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, Penerbit Gramedia, Jakarta, 1997.
F.X. Soedijana, dkk., Ekonomi Pembangunan Indonesia (Tinjauan Aspek Hukum), Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008.
Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Terkait Lainnya, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor.
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, Penerbit Gramata Publishing, Jakarta, 2010.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Penerbit Ichtiar Baru-Van Hoove, Jakarta, 1994.
Kementerian Tenaga kerja Dan Transmigarasi R.I., Himpunan Peraturan Perundang-undanganKetenagakerjaan, Desember, Jakarta, 2006.
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al Quran Dan Terjemahannya, Jakarta, 1971.
Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1999.
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit PT. RajGrafindo Persada, Jakarta, 2012.
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2007.
Mahmud Mulyadi & Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Penerbit PT. Sofmedia, Jakarta, 2010.
MahrusAli, Kejahatan Korporasi (Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi), Penerbit Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008.
—————, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.
Martin Roestamy, et.al., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Hukum Pada Fakultas Hukum, Program Studi Ilmu Hukum dan Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor, 2012.
Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2006.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Editor: H.R. Otje Salman & Eddy Damian), Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006
Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007.
Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010.
——–, & Diah Sulistyani RS, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Reponsibility), Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2013.
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Otje R. Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1993.
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1983.
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Sutan Remy Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, penerbit Grafiti Pers, Jakarta, 2006.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 1988.
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Penerbit CV. Aneka Semarang, 1977.
Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Manajemen Tenaga kerja, Penerbit PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.
- Peraturan Perundang Undangan :
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen keempat.
————, Undang-Undang Nomor 13 Tahuh 2003 tentang Ketenagakerjaan
————, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
————, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2004, tanggal 28 Oktober 2004 tentang Dewan Pengupahan.
————, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: SE-01/MEN/1982 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
————, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-01/MEN/1999, tanggal 12 Januari 1999 tentang Upah Minimum.
————, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor: Kep-226/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, 11, Pasal 20 dan Pasal 21.
————, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor:Per-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum.
————, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor: PER-17/MEN/VIII/2005 tanggal 26 Agustus 2005 tentang Komponen Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
- Lain-lain :
C.F.G. Sunaryati Hartono, Membangun Kembali Kepercayaan Masyarakat Terhadap Hukum Dan Lembaga-Lembaga Penegak Hukum, Seminar diselenggarakan oleh Laboratorium dan FKH Fakultas Hukum Universitas Pakuan bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bogor, Hotel Mirah Bogor, Sabtu,2 September 2006.
Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan Dan Kesehatan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga kerja Dan Transmigarasi R.I., Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Maret 2011.
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 5 Desember 2013, diakses dari website:htpp://www.putusan.mahkamahagung.go.id.
Kompas, Kasus Rawa Tripa: Vonis Tinggi Diharapkan Membuat Jera, Sabtu, 11 Januari 2014.
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Pertanggungjawaban Pidana Suatu Badan hukum (Korporasi) Dan Perspektif Outsourcing (Alih Daya) Dalam Penegakan Hukum Ketenagakerjaan, tanpa penerbit, 2013.
Varia Peradilan, Sanksi Pidana Bagi Pelaku Usaha Yang Membayar Upah Buruhnya Tidak Sesuai Dengan upah Minimum Regional/UMR, Majalah Hukum Tahun XXIX No. 335 Oktober 2013, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2013.
[1] Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 6.
[2]Kementerian Tenaga kerja Dan Transmigarasi R.I., Himpunan Peraturan PerUndang-Undang an Ketenagakerjaan, Desember, Jakarta, 2006, Hlm. 73.
[3] Martin Roestamy, et.al., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Hukum Pada Fakultas Hukum, Program Studi Ilmu Hukum dan Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor, 2012, hlm. 96.
[4] Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum, Penerbit, PT. Sofmedia, Medan, 2011, Hlm. 171-172.
[5]Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hlm. 10.
[6] Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm. 158-159.
[7] Ibid.
[8]Ibid.
[9]Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan Dan Kesehatan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga kerja Dan Transmigarasi R.I., Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Maret 2011, Hlm. ii.
[10]Abdul Khakim, Loc.cit.
[11]Ibid., Hlm. 9.
[12] Dwidja Priyatno, Op.cit.,Hlm. 12, dan Mulyadi & Dwidja Priyatno, Op.cit., Hlm. 23.
[13]Ibid.
[14] Dikutip dari Mulyadi dan Dwidja Priyatno, Ibid., Hlm. 31.
[15]Ibid., Hlm. 32.
[16]Ibid.
[17]Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi (Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi), Penerbit Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008, Hlm. 18.
[18] Mahmud Mulyadi & Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Penerbit PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, Hlm. 21.
[19]Ibid., Hlm. 13-14.
[20] Dwidja Priyatno, Op.cit., Hlm. 30.
[21]Ibid.
[22]Ibid., Hlm. 53-59.
[23] Muladi & Dwidja Priyatno, Op.cit., Hlm. 98.
[24]Hardijan Rusli, Op.cit., Hlm. 14.
[25]Mahmud Mulyadi & Feri Antoni Surbakti, Op.cit., Hlm. 46.
[26]Sutan Remy Sjahdeni, Op.cit., Hlm. 26.
[27]Sutan Remy Sjahdeni, Op.cit., Hlm. 39.
[28]Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit., Hlm. 80.
[29]Sutan Remy Sjahdeni, Op.cit., Hlm. 40.
[30]Trini Handayani, Op.cit., Hlm. 167.
[31]Ibid.
[32]Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit., Hlm. 241.