Peran Negara Dalam Menjaga Kestabilan Harga

66

Oleh : Lilis Suryani

Bagi sebagian masyarakat di Jawa barat yang rata-rata menyukai makanan dengan cita rasa pedas, cabe rawit menjadi bahan makanan yang harus ada ketika menyantap makanan. Baik itu diolah bersama bumbu atau disajikan secara terpisah. Namun, siapa sangka buah dengan ukuran yang kecil ini, berpengaruh besar terhadap inflasi di Jawa barat. Tidak hanya cabe rawit, kedelai pun menjadi bahan pangan yang menjadi pemicu inflasi. Disamping itu harga daging sapi juga mengalami kenaikan yang signifikan.

Inflasi memang dipengaruhi banyak faktor, seperti peningkatan konsumsi masyarakat, likuiditas di pasar yang berlebih sehingga memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, hingga ketidaklancaran distribusi barang. Sedangkan di Jawa barat inflasi dipicu oleh kanaikan harga beberapa komoditas yang telah disebutkan diatas.

Sebagaimana dilansir laman inewsjabar.id bahwa Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat Dyah Anugrah Kuswardhani mengatakan, pada awal 2021, Provinsi Jawa Barat mengalami inflasi sebesar 0,16 persen. Menurut dia, kelompok makanan, minuman dan tembakau menyumbangkan andil inflasi sebesar 0,05 persen terhadap inflasi gabungan Januari 2021. Adapun komoditas pada kelompok bahan makanan yang mengalami kenaikan harga di antaranya cabai rawit, tempe, tahu mentah, daging sapi, ketimun, brokoli, semangka, buncis, rokok kretek filter, melon, kacang panjang, kangkung.

Kelangkaan pangan bisa muncul sebagai akibat minimnya ketersediaan bahan pangan di pasaran. Ketika stok pangan menipis, maka harganya akan melambung tinggi. Hal inilah yang bisa menjadi salah satu penyebab inflasi. Saat itu, biasanya pemerintah akan mengeluarkan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan bahan pangan yang beredar di pasaran.

Menyoal terjadinya kenaikan harga sejumlah komoditas pokok tak terlepas dari sistem ekonomi kapitalis yang bertumpu pada pasar bebas. Apalagi setelah pemerintah meratifikasi The Agreement on Agriculture (AoA) melalui UU No. 7/1994, serta menyetujui pembentukan World Trade Organization (WTO) pada 1995 bersama 125 negara lain, yang menandai pemberlakuan sistem perdagangan bebas.

Dalam kesepakatan ini menekankan keharusan negara anggota menurunkan dukungannya terhadap sektor pertanian. Termasuk berkewajiban meningkatkan akses pasar untuk impor pertanian, dan pengurangan subsidi ekspor pertanian yang kesemuanya termasuk prinsip perdagangan pasar bebas. Hal inilah yang membuat harga-harga komoditas pangan menjadi tidak stabil.

Hal ini diperparah dengan adanya invisible hand yang mengatur harga demi kepentingan pribadi. Misalnya, pelaku pasar hanya dikuasai oleh satu produsen (monopoli) atau beberapa produsen (oligopoli), maka mekanisme pasar tidak dapat berfungsi normal. Sebabnya, para penjual yang terbatas tersebut dapat mempengaruhi harga dengan membatasi penawaran sesuai dengan keinginan mereka. Jadilah rakyat semakin kesulitan untuk membeli komoditas pangan yang harganya mahal dan tidak terkendali.

Mirisnya, fenomena kelangkaan pangan dan ketidakstabilan harga kerap terjadi baik di Jabar, maupun dalam skala nasional. Tentu semua ini harus segera diakhiri agar rakyat tidak selalu menjadi korbannya. Bukankah sudah menjadi tujuan negara untuk dapat mensejahterakan rakyatnya. Untuk itu perlu ada solusi yang mendasar dan menyeluruh untuk memperbaiki kondisi negeri. Karena masalah pangan akan juga berkaitan dengan aspek-aspek yang lainnya seperti politik dan ekonomi negara.

Maka, konsep yang ada di dalam Islam sangat patut untuk dijadikan solusi bagi permasalahan negeri terutama berkenaan kestabilan harga pangan. Berkaitan dengan melonjaknya harga sejumlah komoditas maka dalam konsep Islam harus dilihat dan diinvestigasi dulu apa yang menjadi penyebab melonjaknya harga di pasar.

Adapun kemungkinan penyebab melonjaknya harga ada dua :

Pertama, karena terjadi ihtikar (penimbunan). Jika sebabnya adalah ihtikar, maka tindakan yang dilakukan negara adalah menindak tegas orang yang melakukan ihtikar, sebab ihtikar adalah haram menurut syara’.

Kedua, karena kelangkaan barang. Jika sebabnya adalah faktor kelangkaan barang, maka tindakan negara adalah menambah persediaan (supply) agar ketersediaan barang di pasar mencukupi dan harga barang tidak melonjak. Ini seperti yang dilakukan Khalifah Umar, ketika di Madinah terjadi lonjakan harga gandum karena gandum langka. Maka Khalifah Umar lalu membeli gandum dari Mesir dan Syam, lalu menjualnya di Madinah.

Dengan demikian persoalan melonjaknya harga dapat terselesaikan. Selain itu Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan, sehingga kelangkaan pangan yang akan menyebabkan lonjakan harga dapat dihindari. Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan negara melaui kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.

Negarapun akan mendorong berkembangnya sektor industri pertanian. Sehingga sektor riil ini akan tumbuh dan berkembang secara sehat yang kemudian akan turut menggerakkan roda-roda perekonomian.

Demikianlah sekilas bagaimana syariat Islam mengatasi masalah pangan. Masih banyak hukum-hukum syariat lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb