Oleh : Assoc. Prof. Dr. Aryusmar, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta
Pulau Pisang yang memiliki luas daratan 148,82 Ha. Secara Geografis pulau pisang terletak pada koordinat 5’ &’ 15.000” LS dan 103’ 50’ 45.138” BT. Bagian barat dan selatan pulau berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, sedangkan bagian Utara dan Timur berbatasan dengan Pulau Sumatera.
Pulau Pisang merupakan bagian Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung yang telah menjadi salah satu kecamatan dari 11 kecamatan tersendiri dengan memiliki 6 (enam) Pekon, yaitu Pekon Sukamarga, Sukadana, Labuhan, Pekon Pasar, Pekon Lok, dan Bandar Dalam.
Akses untuk menyeberang ke Pulau Pisang bisa melalui Dermaga Pasar Krui, atau Dermaga Tembakak. Dari Dermaga Krui kita bisa menyewa Motor Boat atau perahu penyebrangan selama kurang lebih 1 jam dan jika menyebrang dari dermaga Tembakak kita bisa menyewa perahu hanya menempuh jarak 15-20 menit saja.
Saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Barat telah menjadikan Pulau Pisang sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah mulai melakukan pembenahan khusus di Sektor Pariwisata dimana potensi pariwisata Pesisir Barat sangat menjanjikan. Salah satu sektor yang menjadi perhatian adalah sektor budaya dalam hal ini Adat Sai Batin Marga Pulau Pisang.
Adapun sejarah singkat Marga Pulau Pisang bermula dari berangkatnya rombongan yang dipimpin oleh Gimbar Batin yang dalam penelusuran dari Tamboo tertulis bahwa Gimbar Batin masih keturunan bangsawan, Adipati Gedung Dalom, dari Balik Bukit Skala Brak untuk mengembangkan wilayah hingga ke Pulau Pisang yang saat itu belum banyak penghuninya.
Sampai di Pulau Pisang Gimbar Batin mendirikan Dusun yang diberi nama Bahklui terletak di dataran tinggi di Pulau Pisang atau orang Inggris menyebutnya Dooson Baclui at Island of Poolo Pisang. Memang pada masa itu sebagian besar wilayah pulau pisang masih berupa semak belukar, banyak ditumbuhi pohon pisang dan pohon-pohon lainnya yang belum berpenghuni. Konon menurut cerita disebutnya dusun Baclui karena wilayah itu dulunya banyak ditumbuhi pohon kalui (sejenis Nangka) khas pulau pisang.
Pulau Pisang pada masa itu merupakan wilayah Afdeeling di bawah Resident Bengkulu. Nama Pulau Pisang sendiri konon ceritanya karena dari karena kejauhan terlihat seperti pisang terapung sehingga oleh banyak nelayan atau pedagang Bengkulu disebut Pulau Pisang. Hal tersebut diperkuat dengan kenyataannya setiap mereka mampir di Pulau selalu makan pisang, bahkan sering membawanya sebagai bekal di perjalanan dan oleh2 sehingga akhirnya orang-orang dari Bengkulu mengenal pulau tersebut sebagai Pulau Pisang. Yang pada akhir dikutip oleh Pemerintah Inggris sebagai Island of Poolo Pisang. Seperti tertulis dalam besluit tanggal 5 djuni 1799 ketika menetapkan Gimbar Batin sebagai Perwatin berikut ini.
Penetapan Gimbar Batin pada tahun 1799 diangkat oleh Pangeran dan Ketua2 yang ada di Krui dengan dihadiri oleh M Richard Maidman Residen Krui menjadi PERWATIN dengan gelar “Demung Tinggi Laksana” Beslit resmi diberikan pada tanggal 5 Djuni 1799 yang ditandatangani oleh Samuel Barreld Assistant at Poolo Pisang.
Kutipan dari Tambo, Beslit yang ditandatangani oleh Samuel Barreld pada tanggal 5 djuni 1799.
“This is to certify that Bearer Gumbar Batteen has been established by the Pangeran and Chiefs at Croee in the presence of M. Richard Maidman Resident of Croee that he is the proper Proattteen of Dooson Baclui at Island of Poolo Pisang in lieu of “Demung Tinggi Laksana”, 5 djuni 1799 Samuel Barreld Assistant at Poolo Pisang . (Disalin sesuai aslinya oleh Aliyurja Gelar Raden Takdir pada tanggal 5 Djuli 1958).
Sebagai Perwatin, Pemimpin atau Penyimbang adat di Pulau Pisang, maka Gimbar Batin mulai menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Seperti dikemukakan Abdul Syani bahwa dalam kepemimpinan struktur Pemerintahan Adat dan kehidupan pergaulan masyarakat adat Lampung, terdapat istilah atau sebutan terhadap pimpinan adat, diantaranya adalah: Perwatin/Proatin/purwatin. Dimana yang dimaksud dengan “Perwatin” adalah para Penyimbang adat/dewan adat/tokoh adat/tuha khaja/pimpinan adat (subyek). Sebagai perwatin adat memiliki hak dan kewajiban memimpin segala aktivitas Pemerintahan Adat atau urusan yang berhubungan langsung dengan hippun/peppung (musyawarah) adat. Sebagai penyimbang adat berkewajiban untuk membina dan menjaga stabilitas pemerintahan adat kerukunan warga adat yang dipimpinnya.
Setelah pergantian kekuasaan dari Pemerintahan Inggris ke Pemerintahan Belanda, maka pada tahun 1834 Pemerintahan Belanda menjadikan Pulau Pisang sebagai Wilayah Marga Pulau Pisang yang merupakan salah satu dari 16 Marga Adat yang ada di Kabupaten Pesisir Barat.
Pemerintah Belanda dengan besluit 24 Desember 1834 menetapkan Raden Kalipah sebagai Kepala Marga Pulau Pisang dengan Gelar Karia Karta Dilaga. Raden Kalipah merupakan anak Gimbar Batin (Perwatin Pulau Pisang) seperti dijelaskan di atas memang keturunan Bangsawan Adipati Gedung Dalom dari Balik Bukit Skala Brak.
Berikut ini Kutipan Tambo, Beslit pada tanggal 24 Desember 1834 yang ditandatangani oleh P.de Perce Asisten Resident Van Bengkulen.
Bahwa adalah kami Assistent resident Bangkahulu:
Memberitahukan kepada segala mereka itu jang Raden Kalipah sudah kami angkat menjadi Kepala di dalam Marga Pulau Pisang. Maka hendaklah segala mereka itu menurut perintahnya bagaimana patut, serta kami gelarkan akan dia: KARIA KARTA DILAGA adanya. Bangkahulu pada 24 Desember 1834, Assistent Resident van Bengkulen d.to. P. de Perce. (Disalin sesuai aslinya oleh Suahimi Rais pada tanggal 19 Juni 1958 serta disahkan oleh Kepala Daerah Kewedanaan Krui Lukman pada tanggal 7/9/1958)
Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan Adat Saibatin Lamban Gedung Karia Karta Dilaga sebagai Kepala Marga Pulau Pisang adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena selain dari bukti Bisluit yang ada juga diperkuat dengan adanya 1). garis keturunan (asal usul) kebangsawan dibuktikan Tambo dan Surat-Surat. Hal ini sesuai ketentuan dalam adat Marga bahwa setiap Marga dipimpin oleh seorang Kepala Marga atas Dasar Keturunan dan Bukan atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan; 2). memiliki Lamban Gedung yang masih ada sampai sekarang di Pekon Sukamarga Pulau Pisang, dalam masyarakat adat Lampung Saibatin, tempat kediaman bagi Saibatin Marga disebut dengan Lamban Gedung, yang juga merupakan pusat pemerintahan adat Lampung dan lambang legitimasi adat dalam sistem Kesaibatinan; 3). memiliki pakaian kebesaran adat; dan 4) memiliki 12 suku adat yang masih eksis dengan Tugas pokok dan fungsi yang terdokumentasi dengan jelas serta dilengkapi dengan peralatan adat yang dapat ditampilkan setiap acara adat. (*)